DIARY
BUNDA
#CHAPTER 1 : DREAM ABOUT MOM
Matahari pagi segera memulai tugasnya, menyinari dunia dengan
cahyanya. Bila ku lihat matahari itu aku serasa melihat Bunda. Bagiku Bunda
adalah matahari dalam hidupku, ia selalu menjaga, menghangatkan, dan menemaniku
di setiap hela nafasku. Tapi sekarang sosok itu hanya ada dalam hati dan
benakku. Karena Tuhan telah mengambil matahari itu.
Sebentar lagi aku bisa membuat bunda & ayah bangga karena
2 hari lagi aku bisa menyandang gelar dokter spesialis kanker yang akan
diberikan oleh salah satu universitas ternama di Sydney, Australia.
Aku sudah
mempersiapkan semuanya, tiket untuk bunda dan juga keluargaku sudah aku kirim
jauh-jauh hari, aku berharap di hari yang spesial ini aku bisa melewatkannya
bersama bunda dan semua keluargaku terkecuali ayah. Ia sudah terlebih dahulu
pergi meninggalkanku & bunda saat aku berumur 13 tahun karena kebakaran
hebat yang terjadi di kantornya. Karena itu Bunda sekarang menjadi satu-satunya
yang ada & selalu menjadi bagian dalam hidupku.
Hari ini 19 january dan sekarang aku mulai gelisah karena
rombongan bunda dan keluarga belum juga datang untuk mengetuk pintu apartemenku.
Seharusnya mereka datang 2 jam yang lalu namun sampai sekarang mereka belum
juga datang. Pikiran buruk mulai menyambangi otakku, namun aku coba untuk tetap
berfikir positif
“Barangkali jadwal keberangkatannya delay” gumamku mencoba
menenangan hatiku yang gundah.
Tanpa sadar aku pun mulai tertidur di atas sofa ruang tamu
apartemenku. Saat terlelap dalam tidur samar-samar aku melihat sesosok bayang
putih di depan pintu apartemanku, aku pun membuka mata dan meraih kacamata yang
ada di sampingku, saat ku pakai kacamata itu aku terkejut bukan main ternyata
itu adalah Bunda. Seketika itu juga aku melompat dari sofa dan ku peluk Bunda
se erat-eratnya, namun saat itu aku merasa ada yang ganjil pada Bunda tubuhnya
sangat dingin, wajahnya pucat namun bersinar dan gaya berpakaian Bunda pun
berbeda saat itu ia memakai baju berwarna hitam, padahal setahu ku Bunda tak
suka warna hitam.
“Bunda, aku kangen banget tau sama Bunda, kenapa sih Bunda
datengnya telat, trus saudara yang lain mana?” tanyaku penasaran
Bunda tak menjawab pertanyaanku, ia hanya tersenyum dan
menuntunku untuk duduk bersamanya di sofa.
“Melody, Bunda kemari hanya ingin melihatmu untuk terakhir
kalinya sebelum Bunda pergi”.
Aku ingin bertanya tentang maksud Bunda namun ia mencegahku.
“Kamu pasti tidak mengerti maksud Bunda?”.
Aku hanya mengangguk.
“Sebentar lagi kamu pasti akan tahu maksud Bunda”.
Dan seketika itu pula semua menjadi gelap, dalam gelap aku
mendengar Renai memanggilku (Renai adalah tetangga apartemenku & juga teman
satu kampusku, ia juga orang Indonesia), saat ku buka mata aku hanya melihat
Renai seorang tanpa ada Bunda disana.
“Bundaaaaa . . . . . ternyata Cuma mimpi” teriakku.
“Melody kau kenapa??” tanya Renai cemas.
“Aku tak apa, oh ya apa yang kau lakukan disini?”.
“Kau ini bagaimana hari ini kan kita wisuda. Lihat jam itu
kita sudah hampir telat” katanya sambil menunjuk jam yang ada di atas
televisiku.
“Astaga sudah jam 6.30 am” teriakku panik
“Sudah cepat bersiaplah aku tunggu di luar” kata Renai sambil
berjalan menuju pintu.
Aku pun segera bergegas ke kamar mandi untuk mandi, dan
sekitar 10 menit kemudian aku dan Renai pun berangkat menuju tempat wisuda.
Sampailah kita di tempat wisuda, saat itu acara pun sudah
dimulai dan kami mendapat bangku yang paling belakang. Kami mengikuti semua
acara dengan tertib dan tanpa kendala. Tibalah saatnya kami diwisuda, harusnya
saat itu ada senyum mengembang dari bibirku namun saat acara wisuda telah
selesai hanya raut wajah cemas yang terlukis di wajahku.
Aku hanya bisa diam dan tertunduk lesu di atas balkon
sekolahku, aku hanya bisa memandang jauh indahnya kota Sydney, tanpa mampu
menikmatinya. Hembusan angin, kicauan burung, dan suara music dansa di aula
kampusku yang membuatku sendu. Biasanya balkon ini adalah tempatku
menghilangkan sedih & gundah, namun tak seperti biasanya kali ini ada rasa
yang sangat mengganjal dihatiku, sedih, kecewa, & gundah tak hilang meski
aku sudah berdiri di sini selama 1 jam lamanya.
Tanpa ku sadari hari menjelang petang dan aku masih disini,
di atas balkon ini sendiri ditemani sepi & sunyi. Sampai pada akhirnya ku
putuskan untuk beranjak dari tempatku berdiri dan kembali ke apartemen. Aku
berjalan perlahan menuruni satu per satu anak tangga itu, saat melewati gedung
serbaguna aku melihat sesosok bayangan laki-laki sedang meringkuk kesakitan di
depan pintu, karena penasaran aku pun mencoba mendekatinya perlahan ku pegang
pundaknya dan dia pun menoleh dengan bibir dan hidung berdarah serta mata yang
lebam.
“Are you okay?”
tanyaku seraya membantunya berdiri.
“Ya. I’am okay.”
“Tapi hidungmu berdarah & matamu lebam, ayo aku bantu”.
Lalu aku menuntunnya perlahan menuju kursi panjang yang ada
di halaman kampus. Dengan segera aku mengambil kapas & antiseptik untuk
mengobati lukanya, sesekali ia merintih kesakitan karena menahan perih.
“Are
you Indonesian people?”
tanyanya
“Yes, why?”
“Kalau begitu benar kata teman-temanku, kalau orang indonesia
itu baik & juga ramah”.
“Oh thank you”.
“You’re welcome”.
“Oh ya kita belom berkenalan namaku Melodyana Bintang Putri
Permata panggil saja Melody, kalau kamu?”.
“Kalau aku Dio, George Dio Stevianus”.
Semenjak hari itu aku dan Dio semakin akrab, kita sering hang
out bareng, telpon-telponan, smsan dll. Kita sudah seperti sahabat
sejati.Sampai pada hari itu semua berubah, dering telfon membuat semua menjadi
kelam.
#CHAPTER 2 : LOVE IN SAD
Beberapa hari lagi Bunda berulang tahun pas banget saat itu
aku sedang jalan-jalan sembari mencari kado yang cocok untuk Bunda bersama Dio
di pusat kota Sydney. Akhirnya aku menemukan tempat yang cocok untuk kado
Bunda, sebuah toko perhiasan. Aku dan Dio masuk kedam toko itu dan disambut
baik oleh pelayan toko.
“May i help you?”.
“Yeah.
Hhmm . . . i looking some white gold choker, are you have?”
“Of course. On here.”
Ujar sang pelayan dan menunutunku ke sebuah etalase kaca yang penuh dengan
kalung emas putih.
Aku melihat-lihat semua kalung emas putih itu dan pilihanku
tertuju pada sebuah kalung berliontin love dan ditengah liontin itu terdapat
huruf M, ya inisial dari namaku.
“Where you want miss?”.
“I want a that”
ujarku seraya menunjuk kalung itu.
“Okay. Wait a minute”.
Beberapa saat kemudian aku mendatangi kasir dan membayar
liontin itu. Dalam hati aku sudah membayangkan ekspresi Bunda ketika melihat
liontin itu. Saat aku dan Dio akan meninggalkan toko itu, handphoneku berdering
beberapa kali ku ambil handphoneku dari dalam tas dan melihat siapa yang
menelfonku ternyata Mbak Sumi pembantuku di Indonesia.
Kuangkat telfon itu belom sempat ku berbicara Sumi sudah
membuatku tercengang.
“Halo mbak Melody, ini Sumi mbak. Anu.... Ibu mbak Ibu”.
“Iya Mbak. Bunda kenapa?”.
“Ibu penyakitnya kambuh mbak, sekarang sedang sakit keras”.
Tubuhku serasa lemas, hatiku hancur ketika mendengar berita
itu. Tanganku pun tak mampu memegang kuat handphone itu, butiran-butiran
airmata mulai memenuhi pelupuk kedua mataku dan airmata pertama pun jatuh
membasahi pipiku diiringi dengan rintik hujan yang mulai turun di kota Sydney.
Emosiku mulai naik, aku berlari sekuat tenaga menuju apartemenku untuk
mengemasi barang-barang dan segera pulang ke Indonesia, aku juga tak
menghiraukan teriakan dari Dio yang berusaha mengejarku, seolah-olah bertanya
apa yang terjadi denganku.
Sampai di apartemen, ku banting pintu dengan kuat. Aku tak
perduli dengan semua orang yang terkejut atas kelakuanku, segera kuambil koper
berwarna biru itu dan kumasukkan semua barang-barangku tak terkecuali hadiah
untuk Bunda. Tak berapa lama Dio datang dan bertanya.
“Whats happen?”katanya
sambil berdiri diambang pintu.
“My
Mom very sick now, and i want a back to Indonesia tonight”.
“Melody. Are you sure”
ujarnya seraya memegang kedua pundakku.
“I’am sure”.
“Oke,
what can i do for you?”.
“Can
you driving?”.
“Of Course”.
“Do it now!!”.
Selama di dalam mobil tak ada yang kupikirkan kecuali Bunda,
aku gag tahu gimana hidupku selanjutnya kalau tak ada Bunda. Ya Tuhan kenapa
harus Bunda yang kau beri penyakit itu kenapa bukan aku.
Sampailah aku di bandara dan sangat tepat waktu karena
pesawat menuju Indonesia akan take-off
20 menit lagi. Sembari menunggu aku dan Dio memesan coffee di salah satu
restaurant disana, coffee pesanan yang di pesan oleh Dio tak ku sentuh sama
sekali karena aku masih cemas akan keadaan Bunda.
“Melody, tenang lah Ibumu pasti baik-baik saja”.
“Tapi Dio aku sangat khawatir akan keadaannya”.
“Jika aku melakukan sesuatu untukmu, apa kau akan sedikit
tenang?”.
“Apa itu?”.
Perlahan tapi pasti Dio beranjak dari duduknya dan mendekatiku
ia lalu berlutut di hadapanku dan mengeluarkan sebuah benda yang ternyata
adalah cincin. Ntah kenapa perasaanku sangat bahagia seolah semua bebanku telah
terobati.
“Melody, will you be my
girlfriend” ujarnya seraya menatap wajahku dengan penuh harap.
Aku terdiam sejenak dan aku menjawabnya.
“Yes I will” kataku
sambil mengambil cincin itu.
Sorak sorai dari pengunjung restaurant pun menambah bahagia
hari itu, namun tak berapa lama terdengar pengumuman bahwa pesawat menuju
Indonesia berangkat 5 menit lagi. Aku dan Dio segera berlari menuju tempat
take-off, sebelum aku pergi Dio mencegahku.
“Honey, be careful”.
“Of Course, Dio”.
#CHAPTER 3 : MOM DIARY
Di dalam pesawat aku hanya melamun dan memandangi hadiah
untuk Bunda, juga sesekali aku melihat ke luar jendela, awan cerah dan burung
yang berterbangan dengan ceria tak membuatku bahagia. Penerbangan selama 10 jam
pun tak kulalui dengan senyuman. Sampai di bandara Soekarno-Hatta aku begegas
mencari taksi, selama perjalanan menju rumah aku hanya bisa mengangis
memikirkan nasib Bunda. Tibalah aku di sebuah rumah dengan cat dinding berwarna
putih dengan tanaman yang di tata begitu apik, ya itulah rumah masa kecilku
disinilah aku dibesarkan dan dirawat oleh sebuah Matahari nan cantik bernama
Bunda. Tanpa ba bi bu lagi aku segera masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan
Mbak Sum.
“Non, kapan non pulang?” kata Mbak Sumi penuh tanya.
“Udah ceritanya nanti aja, yang penting sekarang Bunda
dimana?”.
“Ibu di kamar mbak nunggu mbak”.
Ku pegang gagang pintu itu, kubuka perlahan dan terlihatlah
sosok matahariku yang sinarnya hampir meredup. Aku berjalan perlahan
menghampiri Bunda dan aku pu duduk di pinggir kasur, Bunda yang mengetahuiku
datang lalu menoleh kearahku.
“Melody, kamu sudah pulang nak. Bunda kangen sekali sama
kamu.” Kata Bunda seraya menggembangkan senyumnya.
“Bun, bunda gag papa kan?, setelah dapet kabar dari Mbak Sumi
aku langsung pergi ke Indonesia secepet mungkin”.
“Bunda gag papa kok.”kata bunda.
“Bener nih Bun?”.
“Bener sayang, sudahlah sekarang kamu pergi ke kamar, mandi,
makan lalu tidur”.
“Hhmm... iya deh Bun, eh Bun aku punya sesuatu deh buat
Bunda, tapi Bunda tutup mata dulu”.
Dengan segera aku ambil kalung yang aku beli di Sydney waktu
itu dan aku gantungkan di depan wajah Bunda.
“Suprise”.
Bunda membuka matanya dan berkata
“Wah cantik sekali, terima kasih ya sayang”.
“Aku pakekin ya Bun, wah Bunda cantik banget”.
“Makasih ya sayang”.
“Iya. Yaudah ya Bun aku mau ke kamar dulu”.
Di dalam kamar aku segera mandi dan membereskan
barang-barangku, tak berapa lama handphoneku berbunyi dan ternyata dari Dio
lalu kuangkat telfon itu.
“Halo, Dio”.
“Hai Melody, kau sudah sampai Indonesia?”.
“Iya aku sudah sampai”.
“Oh ya bagaimana keadaan Ibumu?”.
“Ibuku masih sakit, namun sudah hampir sembuh”.
“Oh”.
“Dio, sudah malam nih aku dah ngantuk”.
“Oh okay Good Night”.
“Good Night”.
Sang Fajar datang menyapa diriku, dengan ramahnya dia
tersenyum padaku, sinarnya menghampiri diriku seolah berkata ‘Bangunlah
Melody,bangun’.Namun aku masih saja berada di alam mimpi yang begitu indah,
tapi pada akhirnya aku menyerah juga ku buka mataku dan mengumpulkan nyawa
sebentar. Perlahan kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi, ku basuh wajahku dan
membka mata.
“Ah..... segarnya” ujarku.
Setelah selesai mandi aku menyapa Bunda di kamar sambil
membawa sarapan untuknya.
“Morning Bunda” kataku sembari tersenyum.
“Eh... Melody, pagi sayang” jawab Bunda yang sedang sibuk
membuat rajutan sweter indah berwarna biru muda kesukaanku.
“Bun, nih aku bawain sarapan. Bunda makan ya.... Aku suapin”.
“Iya boleh sayang”.
Saat tengah menyuapi Bunda tiba-tiba Bunda bertanya sesuatu
padaku.
“Nak, kalau seandainya hari ini Bunda pergi, kamu jangan
sedih ya.....” kata Bunda seraya mengelus rambutku.
“Emang Bunda mau pergi kemana? Bunda kan lagi sakit” ujarku
yang masih belum mengerti apa yang akan terjadi.
“Anakku, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi suatu
hari nanti, jadi berjaga-jagalah mulai dari sekarang” kata Bunda sambil
menerawang jauh ke arah jendela.
“Bunda ngomong apa sih, kok jadi nglantur gitu?!”.
Bunda tak menjawab pertanyaanku itu, ia hanya membuka sebuah
laci tua yang ada di samping tempat lampu miliknya. Bunda meraih suatu benda,
ternyata benda itu adalah sebuah buku.
“Melody, sebelum Bunda pergi Bunda ingin memberimu ini”
sembari menyerahkan buku tersebut.
Aku pun mengambil buku tersebut dan mengamatinya, buku
berwarna biru tua yang terlihat usang dengan tali yang mengait pada kancing
kecil berwarna merah tua. Seribu pertanyaan pun menjalar di otakku, kenapa
Bunda memberikan ini padaku? Apakah Bunda ingin aku membuang buku ini? Atau
Bunda ingin aku menyimpannya? Tapi untuk apa?.
“Buku apa ini Bun?”.
“Itu diary Bunda, kamu simpan baik-baik ya”.
“Iya Bun”.
Aku hanya bisa mengiyakan kata-kata Bunda, karena aku bingung
harus jawab apalagi.
Setelah selesai menyuapi Bunda aku pun izin untuk pergi
keluar sebentar, saat ditanya Bunda aku hanya menjawab untuk mencari makanan,
padahal aku mau nyari Bunga Mawar merah kesukaan Bunda. Ku pacu mobilku menuju
toko bunga terdekat, akhirnya aku menemukan toko bunga tersebut. Toko dengan
pamflet bertuliskan “FLOWER’S STORE” dengan cat berwarna ungu itu bertuliskan
OPEN. Segera kubuka pintu toko itu dan dengan segera pula terciumlah bau Mawar
yang semerbak.
“Selamat Pagi mbak, ada yang bisa saya bantu” kata penjaga
toko tersebut dengan ramah.
“Pagi mbak. Saya lagi nyari satu bucket bunga mawar merah
jumlahnya 43 ada gag mbak?”.
“Oh ada. Bungkusnya mau warna apa mbak?”.
“Warna putih ada mbak”.
“Oke tunggu sebentar ya mbak”.
20 menit telah berlalu. Dan pesanan bunga mawarku pun sudah
jadi.
“Sekarang tinggal ngambil kue buat Bunda”.
Kebetulan di sebelah toko bunga itu ada sebuah toko roti
khusus cake birthday.
“Pas banget”gumamku.
Kumasuki toko roti itu dan segera terlihatlah jejeran etalase
kaca yang menampangkan kue berbagai bentuk. Aku pun menghampiri penjual roti
tersebut.
“Mbak, ada gag cake birthday yang hiasannya bunga mawar?”.
“Oh ada mbak sebelah sini” kata penjaga toko sembari
menuntunku ke sebuah etalase.
“Ini mbak kuenya, mau ditulis apa atasnya?”.
“Oh ya tulis kata-kata, Happy Birthday Bunda. Selainya warna
biru muda aja”.
Aku pun pulang dengan hati yang gembira, semua keperluan
pesta ulang tahun Bunda dah aku beli semua. Namun saat aku baru keluar dari
toko roti itu telfonku pun berdering berulang kali, saat ku lihat ternyata Mbak
Sumi lalu kuangkat telfon itu.
“Halo Mbak Sum, ini aku udah beli semua ke......” Mbak Sumi
lalu menyela omonganku.
“Mbak, I....bu... mbak. Ibu meninggal.....” suara sendu itu
terdengar dari sana.
“Apa???”.
Seketika itu juga aku tak dapat berfikir jernih, semua terasa
kacau batinku bergejolak. Matahari dalam hidupku telah pergi dan tak bisa
kembali.
Kubuka pintu warna putih itu, sama seperti saat aku pertama
kali bertemu Bunda untuk pertama kalinya dalam 4 tahun terakhir ini, hanya
bedanya beberapa hari yang lalu Bunda masih bisa memeluk & tersenyum
padaku, namun sekarang aku yang memeluk & tersenyum padanya. Matahariku
telah terbujur kaku diatas peti, andai di menit-menit terakhir aku tak meninggalkannya
mungkin sebelum ajal menjemput aku bisa berkata “I LOVE YOU BUNDA”.
“Bun..... bunda bangun, bunda jangan tinggalin aku. Buka mata
bunda aku punya sesuatu deh buat bunda, nih ada kue sama bunga buat bunda.
Masak bunda lupa hari ini kan hari ulang tahun bunda, tapi kok bunda malah
tidur sih? Trus bunda ngapain tidur disini! Kan ada kasur bun. Bunda..........
bangun.......” teriakku histeris.
Semua terlambat, Bunda sudah pergi untuk selama-lamanya
setelah aku pulang dari Ausie belum pernah sekalipun bibir ini berkata ‘I LOVE
YOU BUNDA’, aku nyesel aku nyesel.
Jenazah bunda sudah dimakamkan, kesedihanku belum sirna
hingga sekarang sampai pada suatu hari aku teringat pada buku harian bunda yang
beberapa hari yang lalu diserahkan padaku. Aku pun memberanikan diri untuk
memasuki kamar bunda, semenjak bunda meninggal kamar ini gag pernah aku
sambangi karena saat aku mengitip saja aku sudah hampir pingsan. Rasa
penasaranku mengalahkan ketakutanku, dengan beraninya au masuk ke dalam kamar
bunda. Di dalam kamar ini dulu kita sering bercanda, saling mencintai, dan
menyanyangi, satu kenangan kecil saat Bunda masih hidup setiap pagi sebelum
bunda bangun aku selalu memetik bunga mawar merah yang ada di taman lalu
menaruhnya di atas bantal bunda, dan setiap kali bunda bangun ia pasti mencium
mawar itu. Tapi kegiatan itu takkan pernah lagi aku lakukan sekarang &
selama-lamanya.
Ku buka laci tua berdebu itu dan terpampanglah sebuah buku
berwarna merah tua bergambar bunga mawar, perlahan ku buka buku itu di awal
halaman tertulislah rangkaian kata-kata indah khas tulisan bunda.
Bandung,
21 January 1990
Hari ini buah
hatiku melihat dunia, ia bagaikan sebuah alur sungai ditengah gersangnya dunia
hidupku. Ia adalah seorang bayi mungil nan cantik bagai bintang di surga, maka
aku dan suamiku menamainya MELODYANA BINTANG PUTRI PERMATA. Dengan nama itu aku
berharap kelak ia akan menjadi melody yang bersinar laksana bintang di langit
dan akan selalu menjadi putri yang berkilau laksana permata.
Saat membaca lembar pertama aku sudah tak kuasa menahan
tangisku, memori tentang bunda pun silir beganti di benakku. Butiran air mata
membasahi pipiku, sekarang aku tahu arti nama yang di berikan oleh ke 2 orang
tuaku.
Kubuka lembar ke 2, ternyata dalam 1 buku harian ini hanya
terisi 2 lembar. Aku mulai membaca lembar ke 2 dan dari situlah aku mengetahui
apa sebab musabab bunda pergi meninggalkanku.
Bandung, 21 January
2013
Hari ini
adalah ulang tahun MELODY yang ke 23, dan sebentar lagi ia mendapat pencapaian
yang besar ia sudah berhasil meraih cita-citanya yaitu dokter spesialis kanker.
Aku bahagia sekali dapat melihat dya menjadi wanita yang sesungguhnya, namun di
umur 42 tahun ini aku juga mendapat kejutan dari tuhan. Hasil pemeriksaan yang
aku jalani kemarin menyatakan bahwa aku positif mengidap penyakit Kanker Darah
atau Leukimia. Saat itu yang terbesit dalam benakku hanyalah MELODY anak semata
wayangku dengan mas Ridwan, aku tak mungkin memberitahukan hal ini padanya. Aku
takut ia akan menjadi terpuruk karena hal ini, oh tuhan tolong jaga anakku
jauhkan dia dari semua yang ingin menjahatinya.
Saat membaca lembar ke 2 aku menangis sejadi-jadinya tak
kusangka ternyata bunda meninggal akibat penyakit LEUKIMIA yang dideritanya
selama 1 tahun belakangan ini, aku merasa bersalah telah menyia-nyiakan
kesempatan menyembuhkan bunda. Aku berdosa pada bunda kenapa bunda gag pernah
cerita tentang ini, Ya tuhan aku ini anak macam apa. Aku sudah lulus di luar
negeri dengan gelar dokter spesialis kanker tapi kenapa aku tak mampu
menyembuhkan bunda. Kenapa...........
#CHAPTER 4 : MY DESTINY LOVE
1
TAHUN KEMUDIAN
Hari ini 22 january tepat 1 tahun Bunda
meninggal, namun aku harus tetap hidup dan harus tetap meraih mimpiku &
mimpi Bunda yaitu mempunyai rumah sakit bernama “BUNDA MELODY”. Tak mudah memang
meraih mimpi itu sampai pada suatu hari sesuatu merubah hidupku....
“Halo, benar ini dengan bapak Sugandi. Iya pak ini saya
Melody yang kemarin mengajukan proporsal mengenai perizinan pembangunan rumah
sakit di daerah Bandung Selatan, apakah proposal tersebut sudah bisa
disetujui?”.
“Oh iya mbak, jadi gini proposal mbak ini sudah lengkap dan
siap untuk diajukan ke pemerintah pusat mbak tunggu sekitar 3-5 hari ya nanti
saya hubungi lagi”.
“Oh baiklah pak, terimakasih saya tunggu kabarnya”.
Aku bahagia sekali akhirnya cita-cita Bunda sebentar lagi
terwujud, aku gag sabar untuk segera membangun rumah sakit itu.
Di hari ke 3 aku mendapat berita bahwa pemerintah pusat
mengabulkan permintaan pembangunan rumah sakit itu. Hari demi hari berlalu tak terasa
pembangunan rumah sakitku sudah hampir rampung, aku bahagia sekali akhirnya
cita-citaku & bunda terwujud.
Handphoneku memutar lagu Bruno Mars – Just The Way You’re
itu tandanya ada telfon masuk, saat ku lihat layar handphone aku sangat
terkejut ternyata itu adalah Dio, berikut adalah percakapanku dengannya :
“Halo Dio, how are
you?”
“Hai Melody, iam miss you so much. Iam
fine, how about you?”
“I’am fine too.”
“Ehmm.... Melody, i
have suprise for you”.
“What is that?”.
“Are you really want
to know?”.
“Of Course”.
“Okay, if you want to
know please you come to city park on Jendral Sudirman street at 7 O’clock, okay?”.
“Oh okay”.
“All right, see you”.
Aku masih tak mengerti apa maksud dari Dio, tapi kalau aku
ingin tahu ya harus datang.
Sampailah aku di sebuah taman kota di daerah jalan Jendral
Sudirman, aku tak melihat siapapun disana hanya aku seorang, lantas apa maksud
Dio mengajakku kesini?. Aku berkeliling sejenak melihat-lihat indahnya lampu
hias yang bergantung antar pohon sembari mencari keberadaan Dio. Setelah
sekitar 1 jam aku mencari Dio namun hasilnya nihil, akhirnya ku putuskan untuk
pulang, saat aku akan beranjak pergi & memutar badanku tiba-tiba diantara
tanah lapang terdapat sebuah layar besar yang bertuliskan “WILL YOU MARRY ME MELODY”, dan seketika itulah semua menjadi
terang. Dari balik pepohonan samar-samar aku melihat Dio yang membawa se buket
mawar merah serta kotak cincin berwarna merah tua, perlahan Dio berjalan
menghampiriku dan berlutut di hadapanku seraya berkata
“Will you marry me,
Melody?” ujarnya sembari membuka kotak cincin itu.
“Yes i will”.
Seketika itu pula semua orang yang bersembunyi keluar
termasuk Renai sahabatku selama di Ausie, mereka pun menyalakan kembang api
yang membuat malam itu berkesan. Di tengah kebahagiaan itu samar-samar aku
melihat bunda berdiri di samping pepohonan sembari tersenyum dan berkata
“Tanyakan pada Dio, kalau ia memang mencintaimu bersediakah
ia menjadi muallaf?”.
Lalu bunda menghilang
Sesuai pesan bunda aku menghampiri Dio dan menanyakan hal
itu.
“Dio, sebelum kita menikah aku ingin bertanya sesuatu
padamu”.
“Apa itu sayang?”.
“Kau tahu kalau aku ini muslim dan jika kau ingin
menikahiku kau juga harus mengikuti agamaku dengan cara menjadi muallaf”.
Dio tidak menjawab ia hanya berjalan menuju panggung dan
berkata di hadapan teman-temannya yang membuatku bahagia.
“Teman-teman malam ini aku telah melamar Melody dan Melody
menerimanya itu artinya aku harus menjadi seorang muallaf”.
Sorak sorai teman-temanku menjadi tambah meriah dengan
keputusan besar di hidup Dio, aku sangat bangga mempunyai calon suami seperti
Dio.
22 TAHUN KEMUDIAN
“Bunda, cardigan warna putih aku mana ya?”.
“Bunda gag tahu sayang, udah kamu cari di lemari belom?”
“Udah ketemu bun, yaudah aku ke kampus dulu da...da....”
“Iya sayang bye...bye”.
Tak terasa anakku sudah semakin besar sekarang umurnya
sudah 22 tahun aku beri nama dia Nadara Shinta Bulan agar ia selalu menjadi
Nada dari seorang wanita yang lembut, halus, dan berbudi pekerti yang luhur serta
selalu menjadi penerang dalam gelap & kejamnya dunia.
“Honey, aku kerja
dulu ya” kata Dio sembari mengecup bibirku.
“Oke bye” jawabku
dan membalas ciumannya.
Di saat suami & anakku pergi keluar rumah sedangkan aku
tidak ada pekerjaan di rumah sakit, aku selalu menghabiskan waktuku di kamar
Bunda duduk dikasurnya sembari menatap jendela besar dikamarnya. Kali ini aku
akan mengisi buku harian Bunda yang ia berikan padaku.
Bandung, 14 January 2036
Bunda..... Melody sekarang sudah berumur 45
tahun dan Melody sekarang sudah punya satu orang putri bernama NADARA SHINTA
BULAN. Ia sangat mirip dengan Bunda, gag terasa ya bun udah hampir 22 tahun
bunda pergi maafin aku ya bun aku gag pernah bisa jadi anak yang baik untuk
bunda. Bunda..... bunda berhasil mendidik aku menjadi wanita sesungguhnya
sekarang giliran aku mendidik anakku dengan cara bunda dulu, I LOVE YOU BUNDA.
Handphoneku berdering mendendangkan lagu Bruno Mars itu
tandanya ada telfon masuk, saat ku lihat ternyata dari dokter jaga di rumah
sakitku.
“Halo bu, ini ada pasien kritis ibu cepat kesini ya”.
“Oh ok mas makasih”.
Aku tutup buku harian itu dan berjalan menuju pintu saat
akan membuka pintu entah kekuatan apa yang membuatku menoleh ke belakang saat
aku menoleh bunda duduk manis di atas tempat tidur dan berkata.
“Hati-hati nak, lakukan yang terbaik untuk pasien itu”
katanya sembari tersenyum.
“Pasti Bunda” kataku sambil berlalu pergi meninggalkan
tempat penuh kenangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar